TUGAS MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KASUS KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA SEHUBUNGAN
DENGAN PASAL 27 AYAT 3 UUD 1945 DAN
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008
Anggota Kelompok 4 :
1. Niki Purnama Sari (14210982)
2. Ninda Utami Ridanti (15210000)
3. Nur Anastatia (15210115)
4. Ovia Dharma (15210292)
5. Rahma Nuzuli Kartika N (15210555)
6. Raisa Fidayanti (15210596)
7. Ria Indriati (15210848)
8. Rini Pratiwi (19210529)
9. Riri Syukriati (18210980)
10. Sendy Oktaviani Putri (16210444)
Kelas : 2EA13
UNIVERSITAS GUNADARMA
2012 - 2013
Agus Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di
Periksa Polisi
Kepolisian Daerah Metropolitan
Jakarta Raya menunda pemeriksaan terhadap moderator mailing list (milis) Forum
Pembaca Kompas Agus Hamonangan soal artikel "Hoyak Tabuik Adaro dan
Soekanto" karya jurnalis Narliswandi Piliang.
Agus meminta waktu mencari pengacara
yang akan mendampinginya selama pemeriksaan oleh Satuan Cyber Crime Direktorat
Reserse Kriminal Khusus.
Penyidik Polda Metro Jaya semula
memanggil Agus Hamonangan untuk dimintai keterangan. Ia akan diperiksa sebagai
saksi kasus pencemaran nama baik dan penistaan yang dilaporkan oleh politikus
Partai Amanat Nasional Alvin Lie. Alvin menilai Narliswandi mencemarkan namanya
dengan menulis artikel itu. "Saya agak kaget, ini pertama kali moderator
milis dipanggil polisi," ucap Agus
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) menilai materi pemuatan dalam suatu mailing list (milis)
forum diskusi tidak dimasukan ke dalam jalur hukum.
Pernyataan itu terkait kasus
pemeriksaan moderator milis Forum Pembaca Kompas (FPK), Agus Hamonangan sebagai
saksi perkara pencemaran nama baik di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selaku
pendamping hukum Agus Hamonangan menyatakan, penyidik mengajukan 12 pertanyaan
kepada Agus Hamonangan di antaranya adalah prosedur pendaftaran anggota milis,
prosedur posting email, dan tanggung jawab moderator terhadap posting email.
Agus diperiksa sebagi saksi terkait
pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, karya Narliswandi
Piliang, atau yang dikenal dengan nama Iwan Piliang. Pelapor kasus tersebut
adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie.
Artikel tersebut awalnya ditulis di
Tajuk Rakyat dan tersebar di milis. Dalam artikel itu diceritakan tentang kedatangan
Alvin Lie ke PT Adaro untuk menemui Teddy Rahmat. Alvin Lie mengajukan
permintaan uang Rp 6 miliar sebagai kompensasi penggagalan hak angket PT Adaro
di DPR. Setelah terjadi tawar-menawar kemudian disepakati Rp1 miliar untuk
Alvin Lie.
Apabila Alvin Lie berkeberatan
terhadap tulisan yang dimuat maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan
adalah menjadi anggota milis atau menghubungi moderator untuk memuat jawaban
darinya, kata Direktur Publikasi dan pendidikan publik YLBHI, Agustinus Edy
Kristianto dalam keterangan resminya, (Kamis 4/9/2008).
Seperti dikatakan Agustinus, saksi
Agus Hamonangan mengatakan, dalam pendaftaran anggota milis FPK hanya
dibutuhkan alamat email saja. Semua bebas mengemukakan pendapat asal tidak
berbau suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Moderator tidak mengubah isi
dari tulisan dan tidak bertanggungjawab terhadap tulisan. Apabila ada yang
berkeberatan akan sebuah opini maka biasanya akan ada opini lain yang menjawab
dalam milis diskusi FPK. Alvin Lie, tidak memberikan pernyataan untuk menjawab
diskusi dalam FKK.
Agus Hamonangan diperiksa oleh
penyidik Polda Metro Jaya Sat. IV Cyber Crime yakni Sudirman AP dan Agus
Ristiani. Merujuk pada laporan Alvin Lie, ketentuan hukum yang dilaporkan
adalah dugaan perbuatan pidana pencemaran nama baik dan fitnah seperti
tercantum dalam Pasal 310, 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta
dugaan perbuatan mendistribusikan/mentransmisikan informasi elektonik yang
memuat materi penghinaan seperti tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45
ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE).
Kemajuan teknologi memasuki abad
informasi, ada upaya kita untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang
berlaku sesuai kaidah hukum, seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas
jurnalisme warga (citizien journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di
jejaring internet lainnya tidak bisa dihukum.
Dan fenomena ini muncul dalam
kehidupan kita, ketika tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu
situs Web dimasukkan ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator
forum dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul
ketika terjadi pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab
atas materi isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?
Pipa dua arah
ini menjadi ujian penting untuk
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur Ini
persoalan rumit, melibatkan banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi
komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama
sekali. Di sisi lain, persoalan keseluruhan hidup dan aktivitas kita di
jejaring internet.
Persoalan ini penting untuk mengukur
apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring internet adalah bebas nilai
yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh seseorang, atau memfitnah atas
nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kebenaran?
Setelah tergulingnya Orde Baru,
demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan
dalam dua sisi sebuah koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang
menggebu-gebu memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta
menghadirkan empat presiden yang berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir
kezaliman dan kejahatan diri kita semua dalam cara berpikir dan korupsi.
Artinya, campuran demokrasi dan
kemajuan teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara
fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita
memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak
dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sisi kedua, teknologi komunikasi
informasi tercampur demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai
jurnalisme warga, yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan
aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita
dan informasi.
Artinya, dalam era
demokrasi-reformasi berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara
kepulauan Nusantara ini adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua
warga menjadi agregator, dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters
Tom Glocer, dari kantor berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita
hidup dalam era pipa dua arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua
orang memiliki potensi sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.
Bunyi Pasal 27 ayat 3
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal
45 ayat 1 adalah :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dasar–dasar diajukannya permohonan pengujian ini
adalah karena Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat
(1), Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD
1945.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menurut para pemohon
telah bertentangan dengan prinsip–prinsip negara hukum yang menginginkan setiap
pembentukan UU dijelaskan secara jelas, dapat dimengerti, dan dapat
dilaksanakan secara adil. Selain itu Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan asas
legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
Pasal 27
ayat (3) bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak
memilih para penyelenggara negara melalui pemilu. Untuk itu rakyat berhak untuk
menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar
belakang dari para calon penyelenggara negara. Informasi tersebut, akan sangat
mudah berbelok menjadi tindak pidana penghinaan, sehingga membuat para pemohon tidak
lagi dapat secara bebas untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan
menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara
yang akibatnya para pemohon kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihannya
secara tepat, bijak, dan rasional.
Pasal 27 ayat (3) telah melanggar asas lex certa
dan kepastian hukum karena pasal 27 ayat (3) tidak dimuat dalam rumusan delik
sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu
rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum.
Selain itu rumusan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45
ayat (1) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan karena, jika ancaman
pidana lebih dari 5 tahun dapat secara efektif menghambat hak para pemohon
untuk menduduki jabatan – jabatan publik dan menjadi bagian dari profesi hukum.
Untuk itu Para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi
Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para
pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan
prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat,
melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE
mempunyai potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi,
berpendapat, menyebarkan informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka
panjang yang menakutkan.
Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat
relevan mengingat bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci
dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru
tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga
menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda,
Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara
khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Di dalam Pasal 27 ayat
3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu
1) unsur obyektif dan
2) unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:
·
Mendistribusikan
·
Mentransmisikan
·
Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur subyektif adalah berupa kesalahan, yaitu yang
dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan mendistribusikan,
mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen
elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE tersebut baik
dari sisi yuridis maupun sisi IT. Kalau kita lihat konteks pengundangan ini, maka
sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini merupakan lex specialis dari
KUHP karena merupakan pengkhususan dari penghinaan di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) di ranah internet.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27 ayat 3 UU
ITE dapat dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet sedangkan
tidak ada penjelasan tersendiri terhadap pasal ini.
Permasalahan ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah
pengundangan UU ITE. Kasus pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama
baik oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut
dengan Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang anggota DPR melalui milis Forum
Pembaca Kompas. Berdasarkan laporan Alvien Lie kepada polisi tersebut pada
tanggal 25 November 2008 Iwan Piliang menggugat pasal tersebut kepada Mahkamah
Konstitusi (MK) yang didukung oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan Asosisasi
Pengusaha Warnet dan Komunitas Telematika (Apwkomitel).
·
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak selaku pemohon;
·
Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara a quo;
·
Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45
ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum;
·
Dalil-dalil para Pemohon tidak tepat dan
tidak beralasan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia:
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.3
Adapun bunyi putusan oleh legal standing kedua dari pers adalah sebagai
berikut:
Materi muatan ayat dan pasal undang-undangan yang
dimohonkan pengujiannya sama dengan materi, muatan, ayat, atau pasal
undang-undang yang telah diperiksa, diadili, dan diputus dalam perkara Nomor
50/PUU-VI/2008 yang amarnya berbunyi “Menyatakan menolak permohonan Pemohon
untuk seluruhnya”, oleh karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.4
Salah satu pertimbangan dari majelis hakim MK saat itu adalah bahwa
sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak mengatur kaidah hukum baru, melainkan
hanya mempertegas penghinaan di dalam KUHP dengan tambahan ranah internet.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik terhadap Pasal 27
ayat 3 UU ITE pada awal pengundangannya adalah bahwa unsur-unsur Pasal 27 ayat
3 UU ITE haruslah mengacu kepada unsur-unsur penghinaan/pencemaran nama baik
pada KUHP dengan tambahan sarana internet sebagai medianya.
Pasal 27
ayat 3 UU ITE mensyaratkan bahwa yang dapat dikenai pidana adalah seseorang
yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
Pengabaian
Fakta Hukum
Putusan MK No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 terkait dengan
Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara jelas telah mengabaikan fakta – fakta yang
terungkap di persidangan sebagai berikut :
(1) Ketidakjelasan kategorisasi delik
Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas tidak menjelaskan
apakah delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori
Delik Biasa. Jika merujuk pada pendapat Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH,
dalam sidang pleno pada 19 Maret 2009 yang pada pokoknya menerangkan bahwa
kategorisasi delik reputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE
sangat tergantung pada delik reputasi dalam KUHP yang di-insert kedalamnya.
Dengan
kata lain apabila delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik biasa
maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik biasa namun
jika delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik aduan maka
kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. Dalam
pertimbangannya, MK langsung menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE masuk
dalam kategori delik aduan, tanpa ada penjelasan teoritis bagaimana MK
menemukan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan
(2) Delik reputasi dalam KUHP masih mampu
menjangkau ranah internet
(3) Tidak
ada negara hukum modern yang memiliki delik reputasi yang diatur secara khusus
untuk penggunaan di ranah internet
(4)
Kekaburan Definisi
Selain itu pengertian akses sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE jelas berlawanan dengan pengertian
akses dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dimana akses menurut Pasal 1 angka 15
dilakukan terhadap sistem elektronik dan bukan terhadap informasi dan/atau
dokumen elektonik.
Terlihat
jelas, bahwa Putusan No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan No 2/PUU-VII/2009 telah
mengabaikan beragam fakta hukum yang tampil di persidangan sebagaimana telah
penulis sebutkan diatas
Bukan Konstitusional Bersyarat
Salah satu yang dapat dianggap kemenangan kecil
adalah masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam delik aduan, namun yang harus
catatan penting dan harus dicermati dengan baik adalah pernyataan bahwa Pasal
27 ayat (3) UU ITE hanya ada dalam pertimbangan hukum MK dan bukan masuk
kedalam amar putusan atau dalam kesimpulan dari Putusan MK tersebut. Sehingga dalam
pandangan penulis, sangat mungkin terjadi apabila aparat penegak hukum malah
mengabaikan pertimbangan hukum dari MK tersebut dan mengikuti pandangan dari
Dr. Mudzakkir, SH, MH, Ahli pemerintah, yang menyatakan bahwa kategorisasi
delik reputasi dalam Pasal 27 ayat (3) mengikuti jenis delik reputasi dalam
KUHP yang akan didakwakan.
Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik
tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja”
dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009.
Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis):
“Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak
merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat
dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti
pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan
tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui
bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa
hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan
untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”
Sementara dalam Putusan Perkara No 2/PUU-VII/2009,
MK malah menyatakan (garis tebal oleh penulis):
“Bahwa unsur sengaja berarti pelaku menghendaki
dan mengetahui perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan
mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumentasi elektronik tersebut memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan unsur tanpa hak
merupakan unsur melawan hukum. Unsur tanpa hak dimaksudkan untuk menghindarkan
orang yang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik berdasarkan hukum
dapat dipidana.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu
proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa
tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa
globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat
informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai
pengelolaan
Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga
pembangunan
Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar
ke seluruh
lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa
perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung
telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;
d. bahwa
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan
untuk menjaga,
memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional
berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional;
e. bahwa
pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa
pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui
infrastruktur
hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan secara
aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan
nilai-nilai
agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia;
g. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf
e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik;
KESIMPULAN
Menurut pendapat kelompok kami atas kasus ini adalah suatu ujian penting untuk
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur
persoalan ini, karena melibatkan banyak aspek seperti memanfaatkan kemajuan
teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru di jejaring
internet. Seharusnya pemerintah lebih
mengatur dan lebih memperhatikan lagi tentang semua isi yang ada di
Udang-Undang maupun di dalam pasal-pasal yang sudah di sah kan oleh pemerintah,
agar masalah tentang pelanggar UU ITE tidak terjadi lagi. Belajar dari kasus
ini, seharusnya para jurnalisme harus lebih berhati-hati lagi dalam menulis
suatu berita maupun menuliskan suatu fakta dari seorang narasumber yang di
wawancarainya, agar tidak bermasalah dengan tulisan atau berita yang jurnalis
sudah tulis baik melalui media cetak, media elektronik, maupun melalui
internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar