SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi
ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki
keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini
kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut
kondisi SDM Indonesia, yaitu:
1). Ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan
kerja.
Ketidakseimbangan antara jumlah kesempatan kerja yang
dibutuhkan tidak sesuai dengan angkatan kerja. Angkatan kerja yang melebihi
kapasitas menimbulkan konflik terhadap jumlah lapangan pekerjaan yang
disediakan. Sempitnya jumlah kesempatan dalam suatu perusahaan membuat
banyaknya calon pekerja yang terbengkalai akibat tidak efektifnya pengelolaan
jumlah angkatan kerja.
2). Tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih
relatif rendah.
Semakin banyakya angkatan kerja dengan pendidikan yang sama
, menimbulkan jumlah kesempatan kerja semakin menurun. Semakin terbatasanya
tingkat pendapatan perkapita dan meningkatnya biaya untuk pendidikan , membuat
pemikiran orang terhadap pendidikan semakin kecil. Sehingga banyaknya factor
yang tidak sesuai dengan tingkat intelektualitas yang seharusnya dapat
dijadikan acuan untuk mengedepankan tingkat pendapatannya. Meskipun sebagian
orang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi agar bisa
meningkatkan taraf hidupnya. Meskipun banyaknya tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, tidak menutup kemingkinan dapat mendapatkan lahan pekerjaan yang tidak
diinginkan untuknya .
Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan
kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di
berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja
terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan
kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Kesempatan kerja yang terbatas
bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka
pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari
300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya
perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan
kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim
pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia
untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN
untuk sektor pendidikan — tidak lebih dari 12% — pada peme-rintahan di era
reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah
pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik
tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas.
Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah
bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa
orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar
kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja.
Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah
adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu
menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan
dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya
kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi
ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana
negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin
terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang
sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya
saing dalam dunia usaha.
Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional
dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah
persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45
atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8),
Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka
merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan
dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk
Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM
masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang
memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain
Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan
globalisasi.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa
menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat
globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa
dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang
murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial
ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan
semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri
yang semakin berlipat.